Rabu, 16 Desember 2009

etika kedokteran indonesia dan penanganan pelanggaran etika di indonesia

Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.

Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.

Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.

Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter atau rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari (a) semakin tinggi pendidikan rata-rata masyarakat sehingga membuat mereka lebih tahu tentang haknya dan lebih asertif, (b) semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai hasil dari luasnya arus informasi, (c) komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan kesehatan sehingga masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang tidak sempurna, dan (d) provokasi oleh ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri.

Etik Profesi Kedokteran

Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter.

World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.[1]

Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.

Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme (pengabdian profesi).

Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.

IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi).

Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar “hanya” akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran

Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran.

MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah “disiplin profesi”, yaitu permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK.

Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan – tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.

Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.

Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :

1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait (pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang dibutuhkan

2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.

Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada hukum pidana ataupun perdata. Bar’s Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya, membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak perlu disumpah pada informal hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis persidangan yang lebih tinggi daripada yang informal).[2] Sedangkan bukti berupa dokumen umumnya di”sah”kan dengan tandatangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti keterangan diakhiri dengan pernyataan kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit).

Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of proof seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond reasonable doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada preponderance of evidence dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan bahwa tingkat kepastian pada perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang diajukan. Semakin serius dugaan pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian yang dibutuhkan.5

Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di Australia digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional conduct, unprofessional conduct, professional misconduct dan infamous conduct in professional respect. Namun demikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik. [3]

Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK.

Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.

Pengalaman MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta 1997-2004 (8 tahun)

Dari 99 kasus yang diajukan ke MKEK, 13 kasus (13 %) tidak jadi dilanjutkan karena berbagai hal – sebagian karena telah tercapai kesepakatan antara pengadu dengan teradu untuk menyelesaikan masalahnya di luar institusi. Selain itu MKEK juga menolak 14 kasus (14 %), juga karena beberapa hal, seperti : pengadu tidak jelas (surat kaleng), bukan yurisdiksi MKEK (bukan etik-disiplin, bukan wilayah DKI Jakarta, etik RS, dll), sudah menjadi sengketa hukum sehingga sidang MKEK dihentikan. Dengan demikian hanya 74 kasus (75 %) yang eligible sebagai kasus MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta.

Dari 74 kasus yang eligible tersebut ternyata sidang MKEK menyimpulkan bahwa pada 24 kasus diantaranya (32,4 % dari kasus yang eligible atau 24 % dari seluruh kasus pengaduan) memang telah terjadi pelanggaran etik dan atau pelanggaran disiplin profesi. Namun perlu diingat bahwa pada kasus-kasus yang dicabut atau ditolak oleh MKEK terdapat pula kasus-kasus pelanggaran etik, dan mungkin masih banyak pula kasus pelanggaran etik dan profesi yang tidak diadukan pasien (fenomena gunung es).

Dari 24 kasus yang dinyatakan melanggar etik kedokteran, sebagian besar diputus telah melanggar pasal 2 yang berbunyi “Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi”.

Pasal lain dari Kodeki yang dilanggar adalah pasal 4 yang berbunyi “Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri”, pasal 7 yang berbunyi “Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya”, dan pasal 12 yang berbunyi “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal”.

Apabila dilihat dari cabang keahlian apa yang paling sering diadukan oleh pasiennya adalah : SpOG (24), SpB (17), DU (14), SpPD (10), SpAn (7), SpA (4), SpKJ (3), SpTHT (4), SpJP (2), SpM (2), SpP (2), SpR (2) kemudian masing-masing satu kasus adalah SpBO, SpBP, SpBS, SpF, SpRM, SpKK, SpS dan SpU. Mereka pada umumnya bekerja di rumah sakit atau klinik ( 90 % ), bukan di tempat praktek pribadi.

Dan apabila dilihat dari sisi pengadunya, maka terlihat bahwa pada umumnya pengadu adalah pasien atau keluarganya, tetapi terdapat pula kasus-kasus yang diajukan oleh rumah sakit tempat dokter bekerja dan oleh masyarakat (termasuk media masa).

Dari sisi issue yang dijadikan pokok pengaduan, atau setidaknya terungkap di dalam persidangan, dapat dikemukakan bahwa menduduki tempat teratas adalah komunikasi yang tidak memadai antara dokter dengan pasien dan keluarganya. Kelemahan komunikasi tersebut muncul dalam bentuk : kurangnya penjelasan dokter kepada pasien – baik pada waktu sebelum peristiwa maupun sesudah peristiwa, kurangnya waktu yang disediakan dokter untuk dipakai berkomunikasi dengan pasien, komunikasi antara staf rumah sakit dengan pasien.

Ditinjau dari sisi sanksi yang diberikan dapat dikemukakan bahwa pada umumnya diberikan sanksi berupa teguran lisan atau teguran tertulis. Terdapat dua kasus diberi sanksi reschooling. Tidak ada yang memperoleh sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktek.

Dari sekian banyak yang ditolak oleh MKEK terdapat kasus-kasus sengketa antar dokter, sengketa dokter dengan rumah sakit, dan surat kaleng; sedangkan mereka yang mencabut kasusnya umumnya tidak diketahui alasannya, hanya sebagian yang menyatakan sebagai akibat dari upaya damai.

Kesimpulan

Pelajaran yang dapat dipetik adalah bahwa masalah yang paling sering menjadi pokok sengketa adalah kelemahan komunikasi antara dokter dengan pasien atau antara rumah sakit dengan pasien, baik dalam bentuk komunikasi sehari-hari yang diharapkan mempererat hubungan antar manusia maupun dalam bentuk pemberian informasi sebelum dilakukannya tindakan dan sesudah terjadinya risiko atau komplikasi.

Pelajaran lain adalah bahwa sosialisasi nilai-nilai etika kedokteran, termasuk kode etik profesi yang harus dijadikan pedoman berperilaku profesi (professional code of conduct), kepada para dokter yang bekerja di Indonesia belumlah cukup memadai, sehingga diperlukan crash-program berupa pendidikan kedokteran berkelanjutan yang agresif di bidang etik dan hukum kedokteran, pemberian mata ajaran etik dan hukum kedokteran bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran sejak dini dan bersifat student-active, serta pemberian bekal buku Kodeki bagi setiap dokter lulusan Indonesia (termasuk adaptasi).

http://astaqauliyah.com/2006/12/04/etika-kedokteran-indonesia-dan-penanganan-pelanggaran-etika-di-indonesia/

ETIKA BISNIS & PEDOMAN PERILAKU

Prinsip Dasar

Untuk mencapai keberhasilan dalam jangka panjang, pelaksanaan GCG perlu dilandasi oleh integritas yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan pedoman perilaku (code of conduct) yang dapat menjadi acuan bagi organ perusahaan dan semua karyawan dalam menerapkan nilai-nilai (values) dan etika bisnis sehingga menjadi bagian dari budaya perusahaan. Prinsip dasar yang harus dimiliki oleh perusahaan adalah:

  • Setiap perusahaan harus memiliki nilai-nilai perusahaan (corporate values) yang menggambarkan sikap moral perusahaan dalam pelaksanaan usahanya.
  • Untuk dapat merealisasikan sikap moral dalam pelaksanaan usahanya, perusahaan harus memiliki rumusan etika bisnis yang disepakati oleh organ perusahaan dan semua karyawan. Pelaksanaan etika bisnis yang berkesinambungan akan membentuk budaya perusahaan yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai perusahaan.
  • Nilai-nilai dan rumusan etika bisnis perusahaan perlu dituangkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam pedoman perilaku agar dapat dipahami dan diterapkan.

Pedoman Pokok Pelaksanaan

A. Nilai-nilai Perusahaan

  • Nilai-nilai perusahaan merupakan landasan moral dalam mencapai visi dan misi perusahaan. Oleh karena itu, sebelum merumuskan nilai-nilai perusahaan, perlu dirumuskan visi dan misi perusahaan.
  • Walaupun nilai-nilai perusahaan pada dasarnya universal, namun dalam merumuskannya perlu disesuaikan dengan sektor usaha serta karakter dan letak geografis dari masing-masing perusahaan.
  • Nilai-nilai perusahaan yang universal antara lain adalah terpercaya, adil dan jujur.

B. Etika Bisnis

  • Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha termasuk dalam berinteraksi dengan pemangku kepentingan (stakeholders) .
  • Penerapan nilai-nilai perusahaan dan etika bisnis secara berkesinambungan mendukung terciptanya budaya perusahaan.
  • Setiap perusahaan harus memiliki rumusan etika bisnis yang disepakati bersama dan dijabarkan lebih lanjut dalam pedoman perilaku.

C. Pedoman Perilaku

Fungsi Pedoman Perilaku

  • Pedoman perilaku merupakan penjabaran nilai-nilai perusahaan dan etika bisnis dalam melaksanakan usaha sehingga menjadi panduan bagi organ perusahaan dan semua karyawan perusahaan;
  • Pedoman perilaku mencakup panduan tentang benturan kepentingan, pemberian dan penerimaan hadiah dan donasi, kepatuhan terhadap peraturan, kerahasiaan informasi, dan pelaporan terhadap perilaku yang tidak etis.

Benturan Kepentingan

  • Benturan kepentingan adalah keadaan dimana terdapat konflik antara kepentingan ekonomis perusahaan dan kepentingan ekonomis pribadi pemegang saham, angggota Dewan Komisaris dan Direksi, serta karyawan perusahaan;
  • Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan perusahaan harus senantiasa mendahulukan kepentingan ekonomis perusahaan diatas kepentingan ekonomis pribadi atau keluarga, maupun pihak lainnya;
  • Anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan perusahaan dilarang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan atau keuntungan pribadi, keluarga dan pihak-pihak lain;
  • Dalam hal pembahasan dan pengambilan keputusan yang mengandung unsur benturan kepentingan, pihak yang bersangkutan tidak diperkenankan ikut serta;
  • Pemegang saham yang mempunyai benturan kepentingan harus mengeluarkan suaranya dalam RUPS sesuai dengan keputusan yang diambil oleh pemegang saham yang tidak mempunyai benturan kepentingan;
  • Setiap anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan perusahaan yang memiliki wewenang pengambilan keputusan diharuskan setiap tahun membuat pernyataan tidak memiliki benturan kepentingan terhadap setiap keputusan yang telah dibuat olehnya dan telah melaksanakan pedoman perilaku yang ditetapkan oleh perusahaan.

Pemberian dan Penerimaan Hadiah dan Donasi

  • Setiap anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan perusahaan dilarang memberikan atau menawarkan sesuatu, baik langsung ataupun tidak langsung, kepada pejabat Negara dan atau individu yang mewakili mitra bisnis, yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan;
  • Setiap anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan perusahaan dilarang menerima sesuatu untuk kepentingannya, baik langsung ataupun tidak langsung, dari mitra bisnis, yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan;
  • Donasi oleh perusahaan ataupun pemberian suatu aset perusahaan kepada partai politik atau seorang atau lebih calon anggota badan legislatif maupun eksekutif, hanya boleh dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam batas kepatutan sebagaimana ditetapkan oleh perusahaan, donasi untuk amal dapat dibenarkan;
  • Setiap anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan perusahaan diharuskan setiap tahun membuat pernyataan tidak memberikan sesuatu dan atau menerima sesuatu yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan.

Kepatuhan terhadap Peraturan

  • Organ perusahaan dan karyawan perusahaan harus melaksanakan peraturan perundang-undangan dan peraturan perusahaan;
  • Dewan Komisaris harus memastikan bahwa Direksi dan karyawan perusahaan melaksanakan peraturan perundang-undangan dan peraturan perusahaan;
  • Perusahaan harus melakukan pencatatan atas harta, utang dan modal secara benar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.

Kerahasiaan Informasi

  • Anggota Dewan Komisaris dan Direksi, pemegang saham serta karyawan perusahaan harus menjaga kerahasiaan informasi perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, peraturan perusahaan dan kelaziman dalam dunia usaha;
  • Setiap anggota Dewan Komisaris dan Direksi, pemegang saham serta karyawan perusahaan dilarang menyalahgunakan informasi yang berkaitan dengan perusahaan, termasuk tetapi tidak terbatas pada informasi rencana pengambil-alihan, penggabungan usaha dan pembelian kembali saham;
  • Setiap mantan anggota Dewan Komisaris dan Direksi serta karyawan perusahaan, serta pemegang saham yang telah mengalihkan sahamnya, dilarang mengungkapkan informasi yang menjadi rahasia perusahaan yang diperolehnya selama menjabat atau menjadi pemegang saham di perusahaan, kecuali informasi tersebut diperlukan untuk pemeriksaan dan penyidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, atau tidak lagi menjadi rahasia milik perusahaan.

Pelaporan terhadap pelanggaran Pedoman Perilaku

  • Setiap perusahaan harus menyusun peraturan yang menjamin perlindungan terhadap individu yang melaporkan terjadinya pelanggaran terhadap etika bisnis dan pedoman perilaku perusahaan. Dalam pelaksanannya, Dewan Komisaris dapat memberikan tugas kepada komite yang membidangi pengawasan implementasi GCG.
  • Dewan Komisaris berkewajiban untuk menerima dan memastikan bahwa pengaduan tentang pelanggaran terhadap etika bisnis dan pedoman perilaku perusahaan diproses secara wajar dan tepat waktu;
Sumber : http://www.kpk.go.id
http://indonesiatextile.com/index.php?option=com_content&task=view&id=32&Itemid=48

Etika Bisnis Dalam Beriklan

Berbicara mengenai etika bisnis, kita akan masuk pada pembicaraan yang sifatnya abstrak. Ada dua hal yang perlu dimengerti mengenai etika bisnis, yaitu pemahaman tentang kata etika dan bisnis. Etika, merupakan seperangkat kesepakatan umum yang mengatur hubungan antar individu, individu dengan masyarakat dan masyarakat dengan masyarakat. Etika diperlukan untuk menciptakan hubungan yang tidak saling merugikan.

Semua bentuk masyarakat atau kelompok masyarakat memilliki perangkat aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Perangkat aturan tersebut bertujuan menjamin berlangsungnya hubungan baik antar anggotanya. Hal yang sama juga terjadi dalam dunia bisnis. Di dunia bisnis terdapat pula seperangkat aturan yang mengatur relasi antar pelaku bisnis. Perangkat aturan ini dibutuhkan agar hubungan bisnis yang terjalin berlangsung fair.

Perangkat aturan tersebut bisa berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan perusahaan, dan lain sebagainya. Aturan itu mengatur hubungan internal dalam dunia bisnis, seperti bagaimana melakukan bisnis, berhubungan dengan sesama pelaku bisnis. Dalam kerangka yang lebih luas kita juga mengenal istilah code of conduct, ISO (International Organization for Standarization), dan sebagainya.

Dalam beberapa tahun terakhir juga dikenal istilah Global Compact, Decent Works, Corporate Social Responsibility, yang bertujuan mengatur pelaku bisnis agar menjalankan bisnisnya dengan fair dan memiliki kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Lingkungan tersebut adalah masyarakat sekitar, lingkungan alam, dan hak asasi manusia.

Jadi, secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness), sesuai dengan hukum yang berlaku (legal), dan tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.

Menurut Dawam Rahardjo, etika bisnis beroperasi pada tiga tingkat yaitu individu, organisasi, dan sistem. Pada tingkat individu, etika bisnis mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang atas tanggungjawab pribadinya dan kesadaran sendiri, baik sebagai penguasa maupun manajer. Pada tingkat organisasi, seseorang sudah terikat pada kebijakan perusahaan dan persepsi perusahaan tentang tanggungjawab sosialnya. Pada tingkat sistem, seseorang menjalankan kewajiban atau tindakan berdasarkan sistem etika tertentu. Realitasnya, para pelaku bisnis terkadang sering tidak mengindahkan etika. Nilai moral yang selaras dengan etika bisnis, misalnya toleransi, kesetiaan, kepercayaan, persamaan, emosi atau religiusitas, seringkali kalah dalam upaya maksimalisasi laba melalui sikap yang individualistis melalui konflik dan persaingan yang tidak sehat.

Hal ini tidak hanya terjadi di Dunia Barat, tetapi juga dilakukan oleh para pebisnis di Dunia Timur. Di dalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah demikian, pengusaha yang menjadi penggerak motor perekonomian akan berubah menjadi binatang ekonomi. Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumberdaya alam maupun tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir contoh pengabdian para pengusaha terhadap etika bisnis.

Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Salah satunya adalah melalui iklan. Promosi dan iklan dinilai efektif menarik calon pembeli, namun belakangan banyak promosi dan iklan yang tidak lagi sesuai dengan penawaran yang sebenarnya dilakukan produsen atau penjual, bahkan cenderung membohongi publik. Salah satu modus yang sering dijadikan alat ‘pembohongan publik’ adalah penawaran khusus yang disertai dengan sejumlah pembatasan yang dikenal dengan terminologi terms and condition apply atau “syarat dan ketentuan berlaku”. Entah disengaja atau tidak, perusahaan ritel, sering kali tidak menjelaskan secara rinci batasan-batasan yang menyertai penawaran khusus tersebut. Iklan yang mengandung penawaran khusus dengan syarat-syarat tertentu biasanya hanya diberikan tanda * (asterik) untuk menandakan “syarat dan ketentuan berlaku”, yang ditulis dengan huruf yang sangat kecil dan diletakkan di bawah iklan tersebut. Sementara itu, keterangan lengkap tentang batasan-batasan yang berlaku hanya dapat diperoleh di lokasi-lokasi tertentu. Hal ini banyak dijumpai pada sejumlah iklan yang beredar di tanah air, baik yang dipublikasikan melalui media cetak maupun elektronik. Kasus ini banyak terjadi pada iklan-iklan perusahaan ritel, produk dan layanan telepon seluler, kartu kredit, dan perusahaan penerbangan.

Menurut etika formal dan informal, praktik-praktik semacam ini jelas melanggar etika terutama berkaitan dengan kejujuran. Transaksi jual beli seharusnya menjunjung tinggi norma-norma baik yang berlaku di masyarakat, seperti pelayanan yang baik dan ramah, kejujuran, menghindari praktik-praktik penipuan maupun kebohongan publik.

Dari sisi legal formal, praktek-praktek tersebut jelas melanggar Undang-undang No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 10 menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai: harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; kegunaan suatu barang dan/atau jasa; kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Selain itu, pasal 12 menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu atau jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan. Pelanggaran terhadap isi pasal-pasal tersebut menimbulkan konsekuensi sanksi berupa hukuman penjara maksimal 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 500.000.000,-.

Ketentuan hukum tentang pelanggaran etika bisnis dalam beriklan sebenarnya sudah disusun, meskipun masih terbuka celah-celah untuk melakukan penyimpangan. Tapi intinya adalah pada moral pebisnis itu sendiri, karena pembohongan atau penipuan terhadap publik atau konsumen tidak hanya merugikan produk atau layanan yang dihasilkan perusahaan itu sendiri, tetapi juga akan melemahkan daya saing di tingkat internasional. Pengabaian etika bisnis akan membawa kerugian, tidak saja pada masyarakat, tetapi juga tatanan ekonomi nasional.
http://www.isei.or.id/page.php?id=5okt073

Mempertanyakan Etika Bisnis di Saat Krisis

JAKARTA – Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak 1997 belum meunjukan pemulihan secara nyata. Tanda-tanda pemulihan ekonomi memang mulai terlihat, meskipun itu hanya berupa retorika harapan di atas kertas yang belum terwujud dalam fakta.

Dalam keadaan demikian terlihat kecenderungan para pelaku bisnis yang mengabaikan etika dalam berbisnis. Mereka seakan menganggap dapat melakukan apa saja di saat krisis untuk dapat bertahan. Termasuk mengabaikan etika bisnis asalkan kegiatan bisnis tetap berjalan.
Praktik bisnis pada dasarnya dapat dilihat sebagai satu “budaya”, dan karena itu memiliki etika bisnis. Yang termasuk etika bisnis adalah sikap jujur dan adil terhadap pemerintah, konsumen dan pesaing. Dalam kenyataan di saat terjadi krisis ekonomi, etika bisnis sering dikesampingkan demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan tidak jarang, budaya bisnis tersebut di arahkan secara menyimpang, sehingga melahirkan perbuatan kriminalitas.

Pengabaian etika bisnis tentu dapat merusak tatanan sosial ekonomi dan kemasyarakatan serta dapat merusak tatanan ekosistem lingkungan hidup. Pengabaian etika bisnis dapat merugikan masyarakat konsumen yang harus membayar lebih mahal terhadap produk barang yang kualitasnya lebih rendah. Bahkan, tidak jarang masyarakat konsumen harus menderita kerugian berulang kali akibat adanya pemalsuan suatu produk.

Dari segi lingkungan hidup, pengabaian etika bisnis telah mendorong penggunaan sumber daya alam (SDA) secara besar-besaran dan tidak terencana, sehingga melampaui daya dukung lingkungan. Selain itu, pengabaian etika bisnis telah mendorong kegiatan industri dalam berproduksi secara tidak ramah terhadap lingkungan. Tidak sedikit pelaku industri yang tidak peduli dalam mengolah limbah industri, sehingga menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan, dan akhirnya menyengsarakan masyarakat secara luas akibat pencemaran tersebut.

Pada tahap lebih lanjut, pengabaian etika bisnis menjurus pada bentuk prilaku kriminalitas yang merupakan pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum berkaitan dengan kegiatan bisnis dan ekonomi. Misalnya, pelanggaran terhadap undang-undang (UU) tentang tindak pidana ekonomi, tentang merek, tentang hak cipta, tentang paten, tentang pokok-pokok perbankan, tentang industri, tentang pengelolaan lingkungan hidup, tentang ketenagakerjaan, tentang perpajakan dan sebagainya.

Kasus Bisnis Curang
Selama terjadi krisis ekonomi melanda Indonesia terlihat semakin marak pelanggaran terhadap aturan-aturan pidana yang berkaitan dengan praktek bisnis. Di sektor kehutanan terdapat kasus penerbangan liar dan penyelundup kayu liar ke luar negeri (illegal logging). Kasus ini mendapat perhatian besar Masyaraka Perhutanan Indonesia (MPI) karena dapat merugikan negara berupa kehilangan devisa sekitar US$ 5,5 miliar dari penyelundupan kayu dan kerugian dalam bentuk pajak dan nonpajak sekitar US$ 2,1 milar.

Praktik illegal logging juga menyebabkan industri pengolahan kayu dalam negeri kekurungan bahan baku kayu bulat, sehingga sejumlah industri terancam tutup. Selain itu, illegal logging juga menimbulkan kerusakan ekosistem hutan karena kegiatan penebangan liar cenderung membabat hutan tanpa mempertimbangan kelestariannya.

Di sekitar industri ditemukan kasus pemalsuan produk dan pencemaran limbah industri terhadap lingkungan. Seperti yang terjadi belum lama ini adanya pemalsuan produk obat-obatan yang mencapai 29 merek obat. Tentu saja praktik bisnis curang dalam pemalsuan produk obat-obatan ini sangat menyengsarakan masyarakat yang menderita sakit menjadi lebih sengsara. Karena, ada sejumlah usulan dari berbagai kalangan agar para pelaku pemalsu obat-obatan dihukm berat, kalau perlu dihukum mati.

Kasus pembuangan limbah industri ke Kali Brantas sebenarnya sudah terjadi sejak lama, karena memang di sekitar sungai tersebut berdiri banyak industri. Selain boleh mengambil air sungai, industri tersebut juga diperbolehkan membuang limbahnya ke sungai sejauh memenuhi standar baku mutu yang ditentukan. Artinya, sebelum dibuang ke sungai, air limbah industri tersebut harus diolah terlebih dahulu melalui kolam water treatment agar tidak menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan. Namun, ternyata banyak industri yang melanggar ketentuan tersebut, sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan yang pada akhirnya merugikan masyarakat secara luas.

Penegakan Hukum
Salah satu langkah penting yang perlu dilakukan untuk menjunjung etika bisnis adalah penegakan hukum. Etika bisnis dapat dipandang sebagai sikap jujur dan adil terhadap pemerintah, konsumen dan pesaing. Agar etika bisnis dapat dilaksanakan dengan baik, telah dibuat sejumlah aturan hukum yang berkaitan dengan praktik bisnis sebagai pendukungnya.

Ketika aturan hukum berkaitan dengan praktik bisnis dilanggar, maka secara langsung etika bisnis juga diabaikan. Karena itu, untuk menjunjung etika bisnis perlu dilakukan penegakan hukum yang berkaitan dengan praktik bisnis tersebut.

Aturan hukum berkaitan dengan praktik hukum telah banyak tersedia, hanya pelaksanaanya kurang ditegakkan. Seperti halnya masalah hukum pada umumnya, aturan hukum di bidang ekonomi dan bisnis juga masih seperti “macan ompong di atas kertas”. Karena itu, penegakan hukum ekonomi dan bisnis perlu dilakukan agar etika bisnis dapat dijalankan dengan baik.

Artinya, pihak pelaku bisnis yang menyalahi aturan hukum ekonomi dan bisnis perlu diadili dan perlu mempertanggung jawabkan kesalahannya. Selama ini banyak kasus pelangaran terhadap aturan hukum ekonomi dan bisnis diselesaikan secara misterius dan tidak transparan. Akibat masih berlangsungnya KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) meskipun secara tersembunyi menyebabkan pelanggaran terhadap aturan hukum ekonomi dan bisnis dapat diselesaikan di bawah tangan.

Hal itu dapat terjadi selama pihak pelaku bisnis hanya berpikir egois untuk mencari keuntungan diri sendiri. Cara berpikir seperti itu perlu dihentikan karena secara perlahan, tetapi pasti pada akhirnya akan merugikan pelaku bisnis sendiri. Cara terbaik yang perlu dilakukan pelaku bisnis adalah menjunjung aturan hukum ekonomi dan bisnis, agar kegiatan bisnis tetap berlangsung tanpa merugikan pihak lain.

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0109/20/eko04.html

Etika Bisnis : Skandal WorldCom, Akhir Internet AS?

Posted by sp18 under Artikel IT Kejatuhan WorldCom Inc di AS terus mengundang gejolak. Betapa tidak, hampir setengah dari traffic internet di Negeri Paman Sam keluar-masuk "backbone" ISP-nya, bahkan 70 persen dari total e-mail yang dikirmkan dari AS. Semua pihak terbelalak dengan getasnya perusahaan internet negeri Adidaya. Inikah akhir era internet, atau sekadar bagian dari teori seleksi alam?



Sejumlah analis memperkirakan sebuah perusahaan telekomunikasi raksasa akan menghadapi masalah kebangkrutan, kendati CEO WorldCom John Sidgmore Selasa kemarin (2/7) menyatakan dirinya berharap perusahaannya tidak. Tapi wajar saja kekhawatiran itu datang, menyangkut para pelanggan internet WorldCom. "Internetnya sendiri tahan goncangan," ujar Joel Yaffe, analis Giga Information Group. Paling tidak, fobia terhadap kelangsungan bisnis internet di AS tetap terjadi. Pihak Demokrat di Kongres meminta pemerintah untuk melakukan intervensi langsung untuk mencegah kehancuran WorldCom. Perusahaan tersebut diberitakan melakukan penyimpangan pengeluaran senilai 4 miliar dolar. Akibat pengungkapkan skandal tersebut, saham WorldCom ambruk seketika, menyebabkan sejumlah perusahaan sekuritas dan Komisi Bursa Efek menimpakan tuduhan penipuan. Lantas, muncul sejuta pertanyaan dari sejumlah politikus dan investor. WorldCom memang memberi efek domino bagi bisnis internet di AS. UUNet misalnya, adalah anak perusahaan yang menjadi "backbone" internet Amerika, yang memiliki koridor "superhighway" yang menghubungkan lalu-lintas internet antarkota dan benua menuju AS. Sidgmore menyatakan, UUNet menampung lebih dari 50 persen traffic internet AS, termasuk 70 persen dari seluruh e-mail yang dikirim dari AS, serta setengah dari e-mail yang dikirim dunia. Prestasi ini setara dengan KPNQwest di Eropa, yang menangani lebih dari setengah traffic internet di sana. Bahkan ribuan perusahaan di 100 negara saat ini bergantung pada akses internet WorldCom, termasuk Departmen Pertahanan dan Departemen Dalam Negeri AS sendiri. Kenyataan ini membuat kantor Keamanan Negara berani menjamin layanan Worldcom tidak akan terputus. Senator Republiken asal Massachusetts Edward Markey yang menjadi anggota Komite Perdagangan dan Energi Senat (subkomite internet) meminta kepada ketua Komisi Komunikasi Federal Michael Powell untuk mengambil langkah yang dianggap perlu agar tidak terjadi pemutusan layanan. "Pokoknya, tak ada alasan network UUNet akan bermasalah, bahkan dalam kondisi apapun," jamin Sidgmore. Sejumlah pakar memperkirakan pemerintah dan ratusan perusahaan tyerkait tak akan tega membiarkan UUNet mati. "Tak akan da yang rela membiarkannya mati melihat traffic yang begitu besar," tukas analis Yankee Group, Courtney Quinn.

http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=2052

Langgar Hak Paten, Ericsson Gugat Samsung

Jakarta - Raksasa perangkat jaringan mobile Ericsson melayangkan gugatan terhadap pembuat ponsel Samsung Electronics. Gugatan ini diajukan karena Samsung dituduh telah melanggar hak paten. "Kami sudah melayangkan gugatan hukum kepada Samsung terkait pelanggaran hak paten di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Belanda," kata Ase Lindskog, juru bicara Ericsson. Menurut Lindskog, pihaknya telah melakukan negosiasi besar dengan Samsung terkait pembaharuan lisensi. "Kesepakatan mereka dengan kami telah berakhir sejak 31 Desember tahun lalu," ujarnya lagi. Masalahnya, Samsung masih memakai paten ponsel yang tidak berlisensi lagi. Ketika dikonfirmasi, juru bicara Samsung di Seoul masih enggan mengomentari masalah ini. Entah iri atau ingin menjatuhkan rival, yang jelas kasus pelanggaran paten dan perlawanan legal lainnya sudah sering bahkan biasa terjadi di sektor teknologi. Bisa jadi karena perusahaan telah menghabiskan banyak dana untuk penelitian dan pengembangan (R&D). Selain Samsung, Ericsson juga pernah menggugat Qualcomm. Tahun lalu Ericsson pernah mengadu ke Uni Eropa karena Qualcomm dituduh telah 'mencekik' kompetisi di pasar chip ponsel. Kembali ke gugatan terhadap Samsung. Lindskog mengatakan beberapa paten teknologi yang digugat Ericsson kepada Samsung adalah GSM (Global System for Mobile Communications), GPRS (General Packet Radio Service) dan EDGE (Enhanced Data rates for GSM Evolution). "Ini adalah tindakan yang patut disayangkan, tetapi kami harus melindungi para pemegang saham dan investor kami karena kami sudah menginvestasikan banyak dana di R&D selama bertahun-tahun," kata Lindskog. Demikian dilansir detikINET dari Reuters, Senin (27/02/2006). (dwn) ( dwn )
http://www.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/27/time/090814/idnews/547796/idkanal/399

“Terapkan Bisnis Secara Etis”

HUMAS UNMUL - Apakah etika dengan bisnis terpisah? Apakah bisnis hanya mengagungkan hukum ekonomi yang hanya memaksimumkan keuntungan dengan biaya sekecil-kecilnya? Sementara mengorbankan pihak lain, termasuk dengan alam? Demikian perdebatan mendasar yang terangkum dalam acara Lokakarya Etika Bisnis yang diselenggarakan Kementerian Riset dan Teknologi RI bekerjasama dengan Universitas Mulawarman, Rabu (22/4).

Acara yang berlangsung di Gedung Rektorat Unmul ini mengangkat tema Model Etika Bisnis dalam Pemanfaatan Hasil Riset oleh Dunia Bisnis dan Industri. “Acara ini bertujuan untuk menangkap gagasan dan konsep etika bisnis dari kalangan akademisi,” ungkap Ir. Sri Setiowati, M.A, Asisten Deputi Ristek Bidang Etika Keilmuan dan Harmonisasi IPTEK, didampingi Pembantu Rektor IV Prof. Dr. Hj. Rusmilawati, IM. M.Si.

Sebagai pembicara hadir dari kalangan akademisi dan juga praktisi yang diwakili Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kaltim. Pembicara tersebut adalah Prof. Dr. Ir. Wawan Kustiawan, M.Sc.Agr (Ketua Lemlit Unmul), Dr. Sukisno Riyadi, S.E., M.M (Dosen Etika Bisnis FE Unmul), dan Drs. Jafar (Kadin Kaltim). Bertindak sebagai moderator, Chairil Anwar, S.E., M.A.

Sukisno mengkritik tajam pola interaksi bisnis dan lingkungan yang tidak beretika. “Eksploitasi alam dengan tidak mengindahkan etika berakibat fatal, seperti banjir parah di Samarinda ini,” ungkap Sukisno. Menurutnya bisnis yang hanya mengejar keuntungan semata adalah amoral. “Masalahnya pelanggaran etika bisnis dalam aplikasinya relatif tidak ada sanksi, sehingga tidak ada efek jera.”

Bahkan, kata Sukisno, sekarang ini justru ada kongsi penguasa, pengusaha, dan politisi untuk kepentingan pribadi dan saling melindungi. “Saya melihat memang selama ini ada ‘hidden deal’ antara mereka untuk kepentingan masing-masing,” tegas Sukisno tajam.

Sementara Wawan, melihat ada korelasi antara kegiatan bisnis yang berkembang dengan pesat dengan tuntutan praktek bisnis yang baik dan etis. Karenanya diperlukan model etika bisnis dan mekanisme tanggung jawab dalam pemanfaatan hasil-hasil riset IPTEK.

Jika demikian, apakah kode etik di lingkungan bisnis sudah ada? Kode etik di dunia usaha biasanya ada dua pembagian, pertama adalah asosiasi perusahaan dan asosiasi profesi. “Untuk asosiasi perusahaan hanya menggunakan AD/ART dari asosiasi. Sementara untuk asosiasi profesi sudah punya kode etik seperti Asosiasi Sekretaris Indonesia, Asosiasi Akuntansi, Asosiasi Jasa Konstruksi, dan lainnya,” terang Jafar. Kadin sendiri selama ini hanya berfungsi sebagai katalisator dan intermediasi. “Mengenai kode etik di Kadin ini tidak ada, tapi aturan tentang etika ada misalnya jangan memonopoli, bersaing secara sehat, tidak menyuap, dan lainnya.” 

http://www.unmul.ac.id/index.php?view=article&catid=36%3Amonitor&id=174%3Adari-acara-lokakarya-etika-bisnis-kerja-sama-ristek-ri-dan-unmul&option=com_content&Itemid=27

etika bisnis dan tanggung jawab sosial bisnis

A. PENDAHULUAN

Sejalan dengan perkembangan jaman yang semakin maju serta laju perekonomian dunia yang semakin cepat, dan diberlakukannya sistem perdagangan bebas sehingga batas kita dan batas dunia akan semakin "kabur" (borderless) world. Hal ini jelas membuat semua kegiatan saling berpacu satu sama lain untuk mendapatkan kesempatan (opportunity) dan keuntungan (profit). Kadangkala untuk mendapatkan kesempatan dan keuntungan tadi, memaksa orang untuk menghalalkan segala cara mengindahkan ada pihak yang dirugikan atau tidak.

Dengan kondisi seperti ini, pelaku bisnis kita jelas akan semakin berpacu dengan waktu serta negara-negara lainnya agar terwujud suatu tatanan perekonomian yang saling menguntungkan. Namun perlu kita pertanyakan bagai mana jadinya jika pelaku bisnis dihinggapi kehendak saling "menindas" agar memperoleh tingkat keuntungan yang berlipat ganda. Inilah yang merupakan tantangan bagi etika bisnis.

Sebenarnya, keberadaan etika bisnis tidak hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan “remeh” seperti, “Saya belanja Rp 50.000 tapi cuma ditagih Rp 45.000. Perlu nggak saya lapor?”, atau, “Bisakah saya melakukan tindakan tidak etis/melanggar hukum untuk meningkatkan kinerja divisi saya?”, atau, “Should I accept this gift or bribe that is being given to me to close a big deal for the company?“, atau, “Is this standard we physicians have adopted violating the Hippo-cratic oath and the value it places on human life?“, dan pertanyaan-pertanyaan serupa lainnya.

Sebuah studi selama 2 tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi.

Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai dua-tiga kali daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.

Bukti lain, seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997, menemukan bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.


B. PENGERTIAN

Kata etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “ Ethos” yang berarti adat, akhlak, waktu perasaan, sikap dan cara berfikir atau adat-istiadat. Etik adalah suatu studi mengenai yang benar dan yang salah dan pilihan moral yang dilakukan oleh seseorang. Etika adalah tuntutan mengenai perilaku, sikap dan tindakan yang diakui, sehubungan suatu jenis kegiatan manusia. Etika bisnis merupakan penerapan tanggung jawab sosial suatu bisnis yang timbul dari dalam perusahaan itu sendiri

Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-carauntuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yangberkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness), sesuai dengan hukum yang berlaku (legal) tidak tergantungpada kedudukani individu ataupun perusahaan di masyarakat.

Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan transaksi dan kegiatan yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.



C. KEPENTINGAN ETIKA DALAM BISNIS

Mengapa etika bisnis dalam perusahaan terasa sangat penting saat ini? Karena untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh.Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen.

Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika perusahaan akan selalu menguntungkan erusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang karena :

1. Akan dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.

2. Akan dapat meningkatkan motivasi pekerja.

3. Akan melindungi prinsip kebebasan ber-niaga

4. Akan meningkatkan keunggulan bersaing.

Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif,misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yany tidak etis misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling. berharga bagi perusahaan oleh karena itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan.

Memang benar. Kita tidak bisa berasumsi bahwa pasar atau dunia bisnis dipenuhi oleh orang-orang jujur, berhati mulia, dan bebas dari akal bulus serta kecurangan/manipulasi. Tetapi sungguh, tidak ada gunanya berbisnis dengan mengabaikan etika dan aspek spiritual. Biarlah pemerintah melakukan pengawasan, biarlah masyarakat memberikan penilaian, dan sistem pasar (dan sistem Tuhan tentunya) akan bekerja dengan sendirinya.



D. MEMBANGUN ETIKA BISNIS DAN BISNIS YANG BERETIKA

Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.

Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya.

Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah

1. Pengendalian diri

Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis".

2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)

Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.

3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi

Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.

4. Menciptakan persaingan yang sehat

Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.

5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan"

Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.

6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)

Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.

7. Mampu menyatakan yang benar itu benar

Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.

8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah

Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.

9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama

Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.

10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati

Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.

11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan

Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah.



E. TANGGUNG JAWAB SOSIAL BISNIS

Saat ini perusahaan dihadapkan pada paradigma yang relatif masih baru di Indonesia, yaitu paradigma yang melihat antara pihak perusahaan dan masyarakat bukanlah dua pihak yang berbeda dan bertolak belakang, namun merupakan bagian yang tak terpisahkan.

Fakta masyarakat ada realita kontradiktif, dimana di satu pihak ada perusahaan besar yang aktivitas usahanya banyak diwarnai dengan konflik sosial, tetapi di sisi lain ada perusahaan besar yang berkinerja baik tanpa harus mengalami konflik sosial. Kondisi yang demikian diduga sangat dipengaruhi oleh derajat perilaku etis perusahaan, yang diwujudkannya melalui kadar tanggung jawab sosial perusahaan.

Perusahaan sebagai sebuah sistem, dalam keberlanjutan dan keseimbangannya tidak bisa berdiri sendiri. Perusahaan memerlukan kemitraan yang saling timbal balik dengan institusi lain. Perusahaan selain mengejar keuntungan ekonomi untuk kesejahteraan dirinya, juga memerlukan alam untuk sumber daya olahannya dan stakeholders lain untuk mencapai tujuannya. Dengan menggunakan pendekatan tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan tidak hanya mendapatkan keuntungan ekonomi, tetapi juga keuntungan secara sosial. Dengan demikian keberlangsungan usaha tersebut dapat berlangsung dengan baik dan secara tidak langsung akan mencegah konflik yang merugikan.


F. KESIMPULAN

Etika dalam berbisnis adalah mutlak dilakukan. Maju mundurnya bisnis yang dijalankan adalah tergantung dari pelaku bisnis itu sendiri. Apa yang dia perbuat dengan konsekuensi apa yang akan dia peroleh sudah sangat jelas.

Pebisnis yang menjunjung tinggi nilai etika akan mendapat point reward terhadap apa yang telah dia lakukan. Kemajuan perusahaan, kepercayaan pelanggan, profit yang terus meningkat, pangsa pasar terus meluas, merupakan dambaan bagi setiap pebisnis dan ini akan diperoleh dengan menjungjung tinggi nilai etika.

Sebaliknya, pelanggaran etika yang sedikit saja bias menyebabkan kondisi berbalik 180 derajat dalam waktu sekejap. Kehilangan pelanggan, deficit keuangan sampai ditutupnya perusahaan dengan jumlah utang serta kerugian yang menggunung merupakan punishment dari pelanggaran etika.

Terakhir, kita sebagai akademisi yang merupakan calon dari pebisnis, baik itu yang menjalankan bisnis pribadi ataupun yang menjalankan bisnis orang lain tinggal menentukan pilihan apakah bisnis dengan etika atau bisnis tanpa etika.
http://ramaalessandro2.multiply.com/journal/item/3/ETIKA_BISNIS_dan_tanggung_jawab_sosial_bisnis

Kapanlagi.com melanggar etika bisnis

Dalam melakukan bisnis di perlukan aturan-aturan yang sifatnya normatif, yang bertujuan untuk melindungi kedua pihak yang berbisnis. Salah satunya adalah etika dalam berbisnis, walaupun etika dalam berbisnis ini tidak seluruhnya tertulis di undang-undang, tapi etika ini sangat urgent dalam praktik bisnis.

Dalam berbisnis bukan hanya mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, tapi ada yang lebih penting yaitu kita harus mempertahankan bisnis supaya tetap berjalan lancar, salah satunya menjaga hubungan dengan relasi bisnis supaya bisnis tidak terputus, yaitu dengan cara bersikap jujur, tidak mendzolimi, dan tidak melakukan penipuan.

Apa yang terjadi ketika ada yang melanggar etika bisnis? dampaknya adalah ketidak percayaan dari relasi bisnis atau konsumen sehingga akan mematikan bisnis itu sendiri.

_____________

Definisi etika bisnis menurut Business & Society - Ethics and Stakeholder Management (Caroll & Buchholtz):

Ethics is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation. Ethics can also be regarded as a set of moral principles or values. Morality is a doctrine or system of moral conduct. Moral conduct refers to that which relates to principles of right and wrong in behavior. Business ethics, therefore, is concerned with good and bad or right and wrong behavior that takes place within a business context. Concepts of right and wrong are increasingly being interpreted today to include the more difficult and subtle questions of fairness, justice, and equity.

____________________

Walaupun sebenarnya etika bisnis ini timbul dari hati nurani para pebisnis sendiri.

Apakah situs Kapanlagi.com melanggar etika bisnis?

Enam bulan yang lalu (juli 2008) Kapanlagi.com mengadakan kontes yang bertajuk, Kapanlagi.com’s Friends, (ikon Luna Maya) dengan hadiah total Rp. 50 juta bagi pemenang kontes, dan mengajak para blogger untuk memasang Banner Kapanlagi di blog masing-masing, maka banyak sekali blogger yang tertarik dan memasang banner Kapanlagi.com’s Friends, for free tentunya dengan harapan akan mendapatkan hadiah. Tapi sampai pada detik-detik terakhir dan lewat dari janji pengumuman pemenenang tanggal 20 desember 2008, tidak ada sedikit pun informasi yang dikeluarkan Kapanlagi.com mengenai kontes tersebut, maka timbulah kekecewaan dari para blogger, karena mereka telah kehilangan opportonity cost, bayangkan saja dengan menempel banner diblog selama 6 bulan, dengan banner yang cukup besar tentunya mereka kehilangan kesempatan mendapatkan uang dari pengiklan lain dengan jumlah lebih dari seratus juta rupiah.

Sudah jelas Kapanlagi.com melakukan pelanggaran etika bisnis jika tidak ada itikad baik untuk menyelesaikan masalah ini, karena telah bersikap tidak jujur, mendzolimi, dan melakukan penipuan, dan pebisnis seperti ini akan tersisih sesuai dengan hukum alam.

http://www.myzakian.com/2008/12/kapanlagicom-melanggar-etika-bisnis/

contoh kasus pelanggaran etika bisnis: maraknya peredaran makanan dengan zat pewarna bahaya

Maraknya Peredaran Makanan Dengan Zat Pewarna Berbahaya
DEPOK - Hasil uji laboratorium Dinas Kesehatan Kota Depok menyebutkan, sebanyak tujuh pasar tradisional di Depok terbukti menjual bahan pangan yang mengandung zat berbahaya.Sebelum diuji, Dinkes mengambil sample di puluhan pedagang di pasar tradisional dengan menggunakan enam parameter bahan tambahan yaitu, boraks, formalin, rodhamin, methanil yellow (pewarna tekstil), siklamat (pemanis buatan), serta bakteri makanan.Kepala Seksi Pengawasan Obat dan Makanan Dinas Kesehatan Kota Depok, Yulia Oktavia mengatakan, enam parameter tambahan pangan berbahaya tersebut dilarang digunakan untuk campuran makanan lantaran akan menyebabkan penyakit kanker dalam jangka panjang serta keracunan dalam jangka pendek. "Harus nol sama sekali seluruhnya, karena sangat berbahaya bagi kesehatan." Ujar Yulia kepada okezone, Sabtu (3/10/2009).Yulia menambahkan, makanan yang dijual para pedagang di pasar dan terbukti menggunakan bahan tambahan pangan berbahaya di antaranya, mie basah, bakso, otak-otak, kwetiau, tahu kuning, pacar cina, dan kerupuk merah."Yang paling parah ada kerupuk merah atau kerupuk padang yang biasa digunakan di ketupat sayur, itu ada di lima pasar, dan terbukti menggunakan rodhamin atau pewarna tekstil," paparnya.Langkah selanjutnya, kata Yulia, pihaknya akan mengumpulkan seluruh pedagang untuk dibina mengenai keamanan pangan dan makanan jajanan sehat. Setelah itu, baru diterapkan sanksi hukum pidana sesuai Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Keamanan Pangan. Sanksinya bisa berupa kurungan penjara.Tujuh pasar yang terbukti menjual pangan mengandung bahan tambahan pangan berbahaya diantaranya, Pasar Musi, Dewi Sartika, Mini, Sukatani, Cisalak, Kemiri Muka, dan Depok Jaya. Sebagian di antaranya, berasal dari produsen di daerah Depok maupun Bogor.
Keberadaan peraturan daerah (perda) tentang makanan dan minuman yang diperbolehkan dijual di kantin sekolah tidak menjamin hilangnya praktik-praktik ilegal penambahan zat campuran pada makanan anak-anak itu.Karena itu yang harus dikedepankan adalah penegakan payung hukum yang sudah ada. "Regulasi itu sudah ada, baik dalam bentuk undang-undang ataupun peraturan menteri. Yang perlu adalah penegakan hukumnya," ujar Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail di Depok, Jawa Barat, Kamis (11/6/2009).Lontaran Nurmahmudi merupakan respons atas wacana perlunya dibuat perda khusus tentang jajanan di sekolah lantaran maraknya praktik penambahan bahan tambahan makanan yang berbahaya dalam jajanan sekolah. Nurmahmudi menjelaskan, Menteri Kesehatan pada tahun 1987 telah mengeluarkan peraturan tentang bahan-bahan yang boleh digunakan sebagai bahan makanan tambahan. Karena itu, pemerintah tinggal melakukan pembinaan kepada produsen maupun konsumen.Yang menjadi tantangan, tambah Nurmahmudi, adalah melakukan pengawasan terhadap para produsen. Jika industri makanan tersebut legal, dalam artian alamat pabriknya jelas dan memiliki izin usaha, maka pemerintah bisa dengan mudah melakukan pembinaan. "Yang jadi masalah kalau produk itu tidak berlabel, tidak beralamat, maka perlu kerja keras dari berbagai pihak," katanya.Ke depannya, Nurmahmudi berjanji pemeriksaan jajanan di Depok tidak hanya terbatas pada jajanan anak SD saja. Tapi juga akan merambah kantin-kantin di perkantoran. "Untuk sementara kita pilih anak SD karena ini bagian dari upaya menyelamatkan generasi ke depan," jelasnya.Dinas Kesehatan Depok beberapa hari lalu melakukan pengambilan sampel jajanan ke 30 kantin SD di Kota Depok. Hasilnya 30 persen sampel positif mengandung boraks, 16 persen mengandung formalin, tiga persen mengandung siklamat, metanil yellow, dan rodamin. Untuk bahan boraks umumnya ditemukan pada produk krupuk putih, bakso, dan nuggets.Sementara zat formalin ditemukan pada nugget dan mie. Zat siklamat yang jumlahnya melebihi takaran ada pada produk es sirup dan es mambo. Untuk zat metanil yellow (pewarna kuning) dan rodamin (pewarna merah) atau yang lebih dikenal sebagai pewarna tekstil ditemukan pada permen karet.
( sumber : OkeZone.com )
http://pipitindriani.blogspot.com/2009/11/contoh-kasus-pelanggaran-etika-bisnis.html

Pelanggaran Etika Siaran Televisi Tinggi

TEMPO Interaktif, Jakarta: Rasio pelanggaran etika pada tayangan televisi tergolong tinggi. Berdasarkan data rekapitulasi hasil uji coba pemantauan isi siaran pada triwulan ketiga 2007, separuh lebih tayangan yang dipantau melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Uji coba dilakukan oleh tim analis independen Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), embrio Tim Analisa Siaran KPI yang akan beroperasi mulai April nanti. “Padahal yang dipantau baru 15 persen jam tayang televisi,” kata Koordinator Pemantauan Yasirwan Uyun kepada Tempo kemarin di Jakarta.

Ia menjelaskan, pantauan dilakukan pada tayangan-tayangan yang berpotensi melanggar, seperti sinetron, talk show, dan infotainment. Ditemukan pelanggaran pada tayangan berbau pornografi, kekerasan, dan gangguan terhadap privasi. “Temuan ini segera kami klarifikasi kepada seluruh stasiun televisi yang diduga melanggar.”

Wakil Presiden Jusuf Kalla dua hari lalu meminta KPI mengumumkan program-program televisi yang buruk atau dilarang untuk ditonton dalam pertemuan dengan KPI di kantornya. Selama ini penghargaan selalu diberikan kepada program dengan kategori baik. "Ini untuk pembelajaran kepada stasiun-stasiun televisi," kata Ketua KPI Sasa Djuarsa Sendjaja seusai pertemuan. (Koran Tempo, 18 Maret)

Menurut Yasirwan, KPI akan mengumumkan acara-acara yang tak layak tonton mulai Mei nanti. Pengumuman akan disampaikan setiap dua pekan. Kini calon tim analisis untuk pengawasan 24 jam sedang dalam diseleksi.

http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7125063298961450235

PERANAN ETIKA BISNIS DAN MORALITAS AGAMA DALAM IMPLEMENTASI GCG

PENDAHULUAN

Pada saat ini Good Corporate Governance (GCG) merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, namun diberbagai perusahaan ternyata masih sebatas retorika saja. Hal ini dimungkinkan karena banyak perusahaan yang menganggap implementasi GCG sebagai suatu beban dan bukan merupakan suatu kebutuhan. Selain itu, belum adanya sanksi yang tegas dari Pihak regulator (Pemerintah) bagi perusahaan yang tidak menerapkan GCG, menyebabkan perusahaan enggan dan merasa tidak perlu GCG. Di beberapa Negara maju, GCG saat ini sudah dianggap sebagai suatu asset perusahaan yang banyak mendatangkan beberapa manfaat, misalnya GCG dapat meningkatkan nilai tambah (value added) bagi pemegang saham dan mempermudah akses ke pasar modal domestik maupun global (internasional) serta memperoleh citra (image) yang positif dari publik.

PENGERTIAN TENTANG GCG

Pengertian GCG menurut Bank Dunia (World Bank) adalah kumpulan hukum, peraturan, dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan. Lembaga Corporate Governance di Malaysia yaitu Finance Committee on Corporate Governance (FCCG) mendifinisikan corporate governance sebagai proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dan aktivitas perusahaan ke arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan.

Berdasarkan Pasal 1 Surat Keputusan Menteri BUMN No. 117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang penerapan GCG pada BUMN, disebutkan bahwa Corporate governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika.Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas, secara singkat GCG dapat diartikan sebagai seperangkat sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) bagi stakeholders.

PRINSIP-PRINSIP GCG

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang beranggotakan beberapa negara antara lain, Amerika Serikat, Negara-negara Eropa (Austria, Belgia, Denmark, Irlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Italia, Luxemburg, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Swedia, Swis, Turki, Inggris) serta Negara-negara Asia Pasific (Australia, Jepang, Korea, Selandia Baru) pada April 1998 telah mengembangkan The OECD Principles of Corporate Governance. Prinsip-prinsip corporate governance yang dikembangkan oleh OECD meliputi 5 (lima) hal yaitu :

1. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham (The Rights of shareholders).

2. Perlakuan yang sama terhadap seluruh pemegang saham (The Equitable Treatment of Shareholders);

3. Peranan Stakeholders yang terkait dengan perusahaan (The Role of Stakeholders).

4. Keterbukaan dan Transparansi (Disclosure and Transparency).

5. Akuntabilitas Dewan Komisaris / Direksi (The Responsibilities of The Board).

Prinsip-prinsip GCG sesuai pasal 3 Surat Keputusan Menteri BUMN No. 117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang penerapan GCG pada BUMN sebagai berikut :

1. Transparansi (transparency) : keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan mengemukakan informasi materil yang relevan mengenai perusahaan.

2. Pengungkapan (disclosure) : penyajian informasi kepada stakeholders, baik diminta maupun tidak diminta, mengenai hal-hal yang berkenaan dengan kinerja operasional, keuangan, dan resiko usaha perusahaan.

3. Kemandirian (independence) : suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.

4. Akuntabilitas (accountability) : kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban Manajemen perusa-haan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif dan ekonomis.

5. Pertanggungjawaban (responsibility) : kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.

6. Kewajaran (fairness) : keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

PERANAN ETIKA BISNIS DALAM PENERAPAN GCG

1. Code of Corporate and Business Conduct

Kode Etik dalam tingkah laku berbisnis di perusahaan (Code of Corporate and Business Conduct)” merupakan implementasi salah satu prinsip Good Corporate Governance (GCG). Kode etik tersebut menuntut karyawan & pimpinan perusahaan untuk melakukan praktek-praktek etik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang dilaksanakan atas nama perusahaan. Apabila prinsip tersebut telah mengakar di dalam budaya perusahaan (corporate culture), maka seluruh karyawan & pimpinan perusahaan akan berusaha memahami dan berusaha mematuhi “mana yang boleh” dan “mana yang tidak boleh” dilakukan dalam aktivitas bisnis perusahaan. Pelanggaran atas Kode Etik merupakan hal yang serius, bahkan dapat termasuk kategori pelanggaran hukum.

2. Nilai Etika Perusahaan

Kepatuhan pada Kode Etik ini merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan dan memajukan reputasi perusahaan sebagai karyawan & pimpinan perusahaan yang bertanggung jawab, dimana pada akhirnya akan memaksimalkan nilai pemegang saham (shareholder value). Beberapa nilai-nilai etika perusahaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG, yaitu kejujuran, tanggung jawab, saling percaya, keterbukaan dan kerjasama. Kode Etik yang efektif seharusnya bukan sekedar buku atau dokumen yang tersimpan saja. Namun Kode Etik tersebut hendaknya dapat dimengerti oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan dan akhirnya dapat dilaksanakan dalam bentuk tindakan (action). Beberapa contoh pelaksanaan kode etik yang harus dipatuhi oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan, antara lain masalah informasi rahasia dan benturan kepentingan (conflict of interest).

a. Informasi rahasia

Seluruh karyawan harus dapat menjaga informasi rahasia mengenai perusahaan dan dilarang untuk menyebarkan informasi rahasia kepada pihak lain yang tidak berhak. Informasi rahasia dapat dilindungi oleh hukum apabila informasi tersebut berharga untuk pihak lain dan pemiliknya melakukan tindakan yang diperlukan untuk melindunginya. Beberapa kode etik yang perlu dilakukan oleh karyawan yaitu harus selalu melindungi informasi rahasia perusahaan dan termasuk Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) serta harus memberi respek terhadap hak yang sama dari pihak lain. Selain itu karyawan juga harus melakukan perlindungan dengan seksama atas kerahasiaan informasi rahasia yang diterima dari pihak lain. Adanya kode etik tersebut diharapkan dapat terjaga hubungan yang baik dengan pemegang saham (share holder), atas dasar integritas (kejujuran) dan transparansi (keterbukaan), dan menjauhkan diri dari memaparkan informasi rahasia. Selain itu dapat terjaga keseimbangan dari kepentingan perusahaan dan pemegang sahamnya dengan kepentingan yang layak dari karyawan, pelanggan, pemasok maupun pemerintah dan masyarakat pada umumnya.

b. Conflict of interrest

Seluruh karyawan & pimpinan perusahaan harus dapat menjaga kondisi yang bebas dari suatu benturan kepentingan (conflict of interest) dengan perusahaan. Suatu benturan kepentingan dapat timbul bila karyawan & pimpinan perusahaan memiliki, secara langsung maupun tidak langsung kepentingan pribadi didalam mengambil suatu keputusan, dimana keputusan tersebut seharusnya diambil secara obyektif, bebas dari keragu-raguan dan demi kepentingan terbaik dari perusahaan. Beberapa kode etik yang perlu dipatuhi oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan, antara lain menghindarkan diri dari situasi (kondisi) yang dapat mengakibatkan suatu benturan kepentingan. Selain itu setiap karyawan & pimpinan perusahaan yang merasa bahwa dirinya mungkin terlibat dalam benturan kepentingan harus segera melaporkan semua hal yang bersangkutan secara detail kepada pimpinannya (atasannya) yang lebih tinggi. Terdapat 8 (delapan) hal yang termasuk kategori situasi benturan kepentingan (conflict of interest) tertentu, sebagai berikut :

1). Segala konsultasi atau hubungan lain yang signifikan dengan, atau berkeinginan mengambil andil di dalam aktivitas pemasok, pelanggan atau pesaing (competitor).

2) Segala kepentingan pribadi yang berhubungan dengan kepentingan perusahaan.

3) Segala hubungan bisnis atas nama perusahaan dengan personal yang masih ada hubungan keluarga (family), atau dengan perusahaan yang dikontrol oleh personal tersebut.

4) Segala posisi dimana karyawan & pimpinan perusahaan mempunyai pengaruh atau kontrol terhadap evaluasi hasil pekerjaan atau kompensasi dari personal yang masih ada hubungan keluarga .

5) Segala penggunaan pribadi maupun berbagi atas informasi rahasia perusahaan demi suatu keuntungan pribadi, seperti anjuran untuk membeli atau menjual barang milik perusahaan atau produk, yang didasarkan atas informasi rahasia tersebut.

6) Segala penjualan pada atau pembelian dari perusahaan yang menguntungkan pribadi.

7) Segala penerimaan dari keuntungan, dari seseorang / organisasi / pihak ketiga yang berhubungan dengan perusahaan.

8). Segala aktivitas yang terkait dengan insider trading atas perusahaan yang telah go public, yang merugikan pihak lain.

c. Sanksi

Setiap karyawan & pimpinan perusahaan yang melanggar ketentuan dalam Kode Etik tersebut perlu dikenakan sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan / peraturan yang berlaku di perusahaan, misalnya tindakan disipliner termasuk sanksi pemecatan (Pemutusan Hubungan Kerja). Beberapa tindakan karyawan & pimpinan perusahaan yang termasuk kategori pelanggaran terhadap kode etik, antara lain mendapatkan, memakai atau menyalahgunakan asset milik perusahaan untuk kepentingan / keuntungan pribadi, secara fisik mengubah atau merusak asset milik perusahaan tanpa izin yang sesuai dan menghilangkan asset milik perusahaan .Untuk melakukan pengujian atas Kepatuhan terhadap Kode Etik tersebut perlu dilakukan semacam audit kepatuhan (compliance audit) oleh pihak yang independent, misalnya Internal Auditor, sehingga dapat diketahui adanya pelanggaran berikut sanksi yang akan dikenakan terhadap karyawan & pimpinan perusahaan yang melanggar kode etik.Akhirnya diharpkan para karyawan maupun pimpinan perusahaan mematuhi Code of Corporate & Business Conduct yang telah ditetapkan oleh perusahaan sebagai penerapan GCG.

GERAKAN MORAL BERSIH TRANSPARAN & PROFESIONAL (BTP) SEBAGAI IMPLEMENTASI GCG

1. Konsep BTP

Salah satu langkah awal yang dapat dilakukan oleh perusahaan dalam menerapkan Good Corporate Governance (GCG), adalah melalui Gerakan Moral Bersih Transparan dan Profesional (BTP). Gerakan Moral BTP di Perusahaan perlu dilakukan dengan penuh kesadaran serta konsisten, sehingga diharapkan dapat mendorong kemajuan perusahaan dengan langkah yang memenuhi etika bisnis. Nilai dasar (basic value) yang terkandung dalam istilah Bersih-Transparan-Profesional, sebagai berikut :

a. Dalam istilah “Bersih (Clean)”, terkandung nilai integritas (integrity), kredibilitas (credibility), jujur (honest), anti Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN).Segenap karyawan dan pimpinan perusahaan diharapkan dapat berperilaku jujur, menjunjung tinggi integritas dan kredibilitas serta mempunyai sikap anti KKN.

b. Dalam istilah “Transparan (transparency)”, terkandung nilai akuntabilitas (accountability), bertanggungjawab (responsibility), keterbukaan serta auditable. Segenap karyawan dan pimpinan perusahaan diharapkan dapat berperilaku penuh rasa tanggung jawab, terbuka, serta dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada pihak-pihak berwenang.

c. Dalam istilah “Profesional (Professionalism)”, terkandung nilai kepatuhan (compliance), kapabilitas (capability) serta kemampuan (competency). Segenap karyawan dan pimpinan perusahaan diharapkan dapat bekerja dengan trampil, teliti, akurat dan tepat waktu. Selain itu juga perlu memiliki jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) serta berani mengambil risiko untuk mencapai keunggulan kompetitif (competitive advantage) Perusahaan. Hal yang tidak kalah penting, adalah adanya kepatuhan seluruh pelaku dalam perusahaan terhadap segala peraturan perundang-undangan dan peraturan perusahaan yang berlaku.

2. Tujuan Gerakan BTP
Gerakan moral BTP di perusahaan dilakukan dengan tujuan agar :

a. Terwujudnya Good Corporate Governance secara konsisten dan berkesinambungan di perusahaan.

b. Terbentuknya budaya baru perusahaan (new corporate culture) yang mendukung peningkatan kinerja perusahaan secara keseluruhan.

c. Terbangunnya citra perusahaan (corporate image) yang baik, dimata stake holders, masyarakat dan pihak luar perusahaan lainnya.

d. Terhindarnya praktik-praktek KKN yang sangat merugikan perusahaan.

3. Pedoman Perilaku

Dalam pedoman Perilaku Etika Perusahaan (code of corporate conduct/Ethics), yang ditetapkan oleh Direksi, terkandung nilai-nilai etika / moral yang menjadi acuan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Berikut ini diberikan beberapa contoh perilaku yang terkait dengan Gerakan Moral BTP, sebagai berikut :

a. Gerakan Moral “Bersih”.

1). Tidak melakukan suatu perbuatan tercela .

Segenap karyawan dan pimpinan perusahaan diharapkan dapat perbuatan-perbuatan yang melanggar etika / moral, hukum, ketentuan-ketentuan perusahaan maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2). Tidak melakukan praktek Kolusi, Korupsi, Nepotisme (KKN).

Korupsi berarti menyelewengkan atau menggelapkan asset perusahaan untuk keuntungan pribadi atau pihak lain dan merugikan perusahaan / negara. Kolusi berarti bekerja sama dengan pihak lain, baik secara pribadi atau bersama-sama, untuk mengambil keuntungan dengan melakukan perbuatan yang menyebabkan perusahaan mengalami kerugian. Nepotisme berarti perbuatan yang hanya memberikan keuntungan pada keluarga, teman-teman, kerabat dan seterusnya, yang dapat merugikan perusahaan.

3). Tidak menerima pemberian apapun.

Tidak menerima uang, hadiah dan atau pemberian dalam bentuk apa saja dari siapapun juga yang diketahui atau patut diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan yang dapat menyebabkan penyimpangan pelaksanaan tugas dan/atau pengambilan keputusan.

4). Selalu bersikap Jujur .

Jujur berarti tindakan yang dilakukan sesuai dengan perkataan dan hati nuraninya atau satunya kata dan tindakan (tidak munafik).

b. Gerakan Moral “Transparan”.

Transparan berarti segala kegiatan yang dilaksanakan, informasi yang dimiliki, dapat diketahui dan diawasi oleh pihak lain yang berwenang. Tidak ada sesuatu hal yang ditutup-tutupi (disembunyikan) dan tidak ada yang dirahasiakan. Transparan sangat menuntut kejelasan siapa dan berbuat apa serta bagaimana melaksanakannya.

c. Gerakan Moral “Profesional”.

Bersikap profesional berarti memiliki tekad bekerja secara sungguh-sungguh untuk memberikan hasil kerja (kinerja) terbaik dengan mengerahkan segenap kompetensi yang dimiliki secara optimal.

1). Memberikan hasil (output) yang terbaik .

Bekerja secara profesional ditunjukkan dengan ketekunan, ketelitian, kerja keras, disiplin tinggi, serta berusaha memberikan hasil (output) yang terbaik bagi perusahaan,

2). Memiliki visi yang jelas dan kompetensi yang memadai.

Profesionalisme menuntut segenap karyawan dan pimpinan perusahaan memiliki visi yang jelas dan kompetensi yang memadai. Visi yang jelas akan lebih fokus terhadap apa yang dicita-citakan dan kompetensi yang memadai akan mengoptimalkan pekerjaan sehingga dapat memberikan hasil terbaik kepada perusahaan serta dapat memacu kinerjanya.

3). Dapat bekerjasama dalam kelompok (teamwork).

Kesuksesan perusahaan tidak hanya ditentukan oleh kesuksesan individual melainkan lebih ditentukan oleh hasil kerja kelompok.

4). Memiliki sikap Kreatif dan Inovatif.

Profesionalisme dapat berkembang secara optimal pada individu yang memiliki sikap kreatif dan inovatif. Yaitu terletak pada mereka yang selalu berusaha mencari cara baru dalam mengatasi berbagai masalah dalam perusahaan (problem solving).

Beberapa perusahaan yang secara formal telah menjalankan Gerakan Moral Bersih Transparan dan professional, antara lain PT. Pos Indonesia, PT. Krakatau Steel dan PT. Ratelindo. Sebenarnya cukup banyak perusahaan yang telah mempraktekkan bersih Transparan dan Profesional (BTP), hanya saja belum diformalkan dalam suatu keputusan manajemen perusahaan. Beberapa waktu yang lalu Kamar Dagang dan Industri (KADIN) bekerjasama dengan pihak-pihak terkait telah mencanangkan program Gerakan Moral Bersih Transparan dan Profesional di kalangan perusahaan yang bergabung dengan KADIN. Selain itu KADIN juga telah menyusun Modul Gerakan Moral Bersih Transparan dan Profesional (BTP) dan modul Good Coorporate Governance (GCG) serta modul Kampanye Nasional Anti Suap. Semoga semakin banyak perusahaan yang sadar akan pentingnya Gerakan BTP tersebut sebagai salah satu implementasi GCG di perusahaan.

DIMENSI MORAL DALAM GCG

1. Konsep Moralitas

GCG adalah suatu proses dan struktur yang digunakan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan untuk meningkatkan nilai perusahaan (corporate value) dalam jangka panjang dengan memperhatikan kepentingan stakeholders berlandaskan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moral dan etika bisnis. Konsep GCG telah muncul di Amerika Serikat sejak tahun 1980-an dan mengalami perkembangan cukup pesat akhir abad 20. Beberapa waktu yang lalu muncul dua skandal kebangkrutan perusahaan di Amerika Serikat yang menghebohkan kalangan dunia usaha. yaitu kasus Enron dan Worldcom. Hal tersebut mengingatkan kepada kita bahwa praktek bisnis yang melanggar etika (unethical business practices) ternyata terjadi di negara yang sangat mengagungkan prinsip GCG. Skandal tersebut terjadi karena diabaikannya aspek moral yang terkandung dalam prinsip GCG, terutama prinsip keterbukaan (transparency) & pengungkapan (disclosure) serta prinsip akuntabilitas (accountability) dalam pengelolaan perusahaan. Hal tersebut dapat terjadi karena dalam penerapan GCG hanya mengandalkan kepercayaan terhadap manusia sebagai pelaku bisnis dengan mengesampingkan aspek dimensi moral yang bersumber dari ajaran agama. Pada hal sebagus apapun sistem yang berlaku di perusahaan, apabila karyawan dan/ atau manajemen berperilaku menyimpang dan melanggar etika bisnis maka dapat terjadi praktek kecurangan (fraud) yang sangat merugikan perusahaan yang berakhir dengan kebangkrutan.

2. GCG & ajaran agama

Konsep tentang GCG secara universal sangat erat kaitannya dengan ajaran agama-agama yang ada. Prinsip-prinsip GCG ternyata selaras, khususnya dengan ajaran agama Islam. Dimensi moral dari implementasi GCG antara lain terletak pada prinsip akuntabilitas (accountability), prinsip pertanggungjawaban (responsibility), prinsip keterbukaan (transparency) dan prinsip kewajaran (fairness).

Ary Ginanjar Agustian, penulis buku best seller Emotional Spiritual Quotient (ESQ), dalam bukunya yang berjudul “Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan (2003 : 51-52)”, menyatakan bahwa GCG, sebenarnya adalah sebuah upaya perusahaan untuk mendekati garis orbit menuju pusat spiritual, seperti transparency (keterbukaan), responsibilities (bertanggungjawab), accountabilities (kepercayaan), fairness (keadilan) dan social awarness (kepedulian sosial). Sikap kejujuran, bertanggungjawab, bisa dipercaya dan diandalkan serta kepekaan terhadap lingkungan social, itulah yang menjadi tujuan GCG. Jika dibandingkan dengan sikap Nabi Muhammad SAW 15 abad yang lalu, seperti honest (siddiq), accountable (amanah), cooperative (tablig), smart (fathonah), atau dengan kata lain : jujur dan benar, bisa dipercaya, bertanggungjawab, memiliki kecerdasan serta peduli terhadap lingkungan / sosial. Menurut Ary Ginanjar, perbedaan signifikan terletak pada jenis drive atau motivasinya. Motivasi demi kepemilikan materi dan pemuas ambisi seringkali menjadi dua motif utama sesorang menerapkan GCG. Hasil yang akan diraih apabila GCG bermotif hanya untuk pemuasan materi, akan berujung pada berbagai skandal, seperti Enron Gate, World Com Gate, Arthur Andersen Gate, juga skandal Global Crossing dan Tyco. Pada akhirnya, skandal tersebut berakhir dan bermuara pada kehancuran.

Menurut Umer M. Chapra, dalam Islam and Economic Chalenge (2002) yang dipublikasikan melalui Islamic economic series no. 17 oleh The International Institution of Islamic Thougt , menyatakan bahwa dalam sistem ekonomi islam yang telah diterapkan pada beberapa negara muslim antara lain menggunakan prinsip syariah yang lebih menekankan pada aspek harmoni. Prinsip syariah erat sekali hubungannya dengan prinsip GCG, karena lebih menekankan pada bagi hasil (profit sharing) yang berarti lebih menonjolkan aspek win-win solution, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dalam berbisnis.

Burhanuddin Abdullah,Gubernur Bank Indonesia, pada acara 2nd Islamic Financial Services Board (IFSB) International Summit di Doha, Qatar, tanggal 24 – 25 Mei 2005 yang lalu, telah menyampaikan pandangan bahwa penerapan GCG di lembaga keuangan Islam perlu dilakukan melalui berbagai pendekatan yang sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku secara spesifik di suatu negara maupun nilai-nilai GCG yang berlaku umum di dalam menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.

Menurut Burhanudin, Penerapan GCG dapat berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain atau satu negara dengan negara lain mengingat standar dan prinsip-prinsip GCG sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan standar etika yang ada pada negara tersebut, seperti budaya, ketentuan hukum, business practices, dan kebijakan-kebijakan pemerintah serta nilai-nilai lainnya. Topik yang diangkat dalam pertemuan tersebut adalah upaya pengembangan dan peningkatan efektifitas good corporate governance pada industri jasa keuangan Islam. Pada kesempatan tersebut , Madzlan Mohammad Hussein, Project Manager IFSB, menyatakan bahwa saat ini sedang merumuskan ketentuan tentang GCG untuk lembaga keuangan Islam. Diperkirakan pada tahun 2005 konsep GCG sudah selesai dan bisa diterapkan pada lembaga keuangan Islam, terutama yang menjadi anggota IFSB.

Selain itu dalam Forum IFSB tersebut telah disepakati bahwa pemahaman terhadap nilai-nilai GCG yang bernilai Islami oleh industri jasa keuangan Islam akan berdampak pada tercapainya 3 tujuan penerapan GCG yaitu:

a. Semakin meningkatnya kepercayaan publik kepada lembaga keuangan Islam.

b. Pertumbuhan industri jasa keuangan Islam dan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan akan senantiasa terpelihara.

c. Keberhasilan industri jasa keuangan Islam dalam menerapkan GCG akan menempatkan lembaga keuangan Islam pada level of playing field yang sejajar dengan lembaga keuangan internasional lainnya.

Lembaga keuangan Islam di Indonesia baik yang bergerak di bidang perbankan, asuransi, reksa dana dan lainnya perlu menjalankan prinsip GCG dalam praktek bisnis sehari-hari. Peranan Dewan Syariah Nasional (DSN) sangat penting agar pelaksanaan GCG di lembaga keuangan Islam dapat berjalan dengan lancar. Dalam hal ini, DSN perlu melakukan sosialisasi akan pentingnya prinsip GCG untuk meningkatkan kinerja bisnis di lembaga keuangan Islam. Selain itu DSN perlu melakukan kerja sama dengan pihak Komite Nasional mengenai Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) serta Lembaga yang memiliki concern terhadap implementasi GCG di perusahaan, misalnya Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) dan The Indonesian Intitute for Corporate Governance (IICG). KNKCG atau National Committee for Corporate Governance didirikan oleh Pemerintah pada tanggal 19 Agustus 1999. KNKCG telah memprakarsai dan memantau perbaikan di bidang corporate governance di Indonesia serta telah menyusun draft Pedoman GCG (Code for Good Corporate Governance) yang dapat digunakan oleh perusahaan-perusahaan dalam menerapkan GCG.

FCGI yang didirikan pada tanggal 8 Februari 2000 oleh 5 (lima) asosiasi bisnis dan profesi, yaitu Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Ikatan Eksekutif Keuangan Indonesia / the Indonesian Financial Executives Association (IFEA), Ikatan Akuntan Indonesia – Kompartemen Akuntan Manajemen (IAI-KAM), Perkumpulan Indonesia Belanda / the Indonesian Netherlands Association ( INA), dan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) memiliki tujuan untuk meningkatkan kesadaran dan mensosialisasikan prinsip dan aturan mengenai Corporate Governance kepada dunia bisnis di Indonesia dengan mengacu kepada international best practices sehingga mereka dapat memperoleh manfaat dalam melaksanakan prinsip dan aturan yang sesuai dengan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).

IICG merupakan organisasi independen yang didirikan pada tanggal 2 Juni 2000 bertujuan untuk memasyarakatkan konsep, praktek, dan manfaat Corporate Governance kepada dunia usaha khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Kehadiran IICG dimaksudkan sebagai wadah pusat pengkajian dan pengembangan masalah Tata Kelola Korporasi di Indonesia.

Adanya kerjasama yang erat antara DSN, lembaga keuangan Islam serta Lembaga yang concern terhadap Implementasi GCG tersebut, diharapkan agar keberadaan lembaga keuangan Islam di Indonesia dapat memberikan manfaat kepada masyarakat (publik), sehingga Islam sebagai rahmatan lil alamin dapat segera terwujud.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Etika bisnis memegang peranan sangat penting dalam rangka implementasi GCG. Code of Corporate and Business Conduct merupakan pedoman bagi seluruh karyawan & pimpinan perusahaan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Agar mudah dipelajari dan dijadikan referensi, maka Code of Corporate and Business Conduct tersebut dapat diterbitkan dalam suatu “buku saku” dan dibagikan kepada seluruh karyawan & pimpinan perusahaan.

2. Gerakan Moral Bersih Transparan dan Profesional (BTP) mengandung nilai-nilai moral dan prinsip dasar dari GCG yang bersifat universal. Gerakan ini perlu ditetapkan dengan Surat Keputusan Direksi (Top Management) sehingga memiliki landasan yang kuat dalam kegiatan operasional di perusahaan.

3. Implementasi GCG di perusahaan, termasuk lembaga keuangan Islam ternyata sangat sesuai dan dianjurkan dalam ajaran agama, terutama ditinjau dari dimensi moral dalam prinsip-prinsip GCG tersebut. Oleh karena itu seharusnya para ulama maupun rohaniawan turut mendukung implementasi GCG di berbagai perusahaan, sehingga aspek moral ikut berperan dalam mewujudkan GCG.

http://muhariefeffendi.wordpress.com/2007/11/27/peranan-etika-bisnis-dan-moralitas-agama-dalam-implementasi-good-corporate-governance/